BANTEN, (MBN) – Sejumlah mahasiswa Banten mendatangi Kantor JAM Tindak Pidana Khusus, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Selasa (24/10). Mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Mahasiswa Pejuang Keadilan (KOMPAK) Banten mendatangi Kejagung RI untuk melaporkan dugaan keterlibatan PJ Gubernur Banten dalam kasus korupsi hibah pondok pesantren Provinsi Banten tahun anggaran 2020.
“Yang dilaporkan itu terkait dugaan keterlibatan PJ Gubernur terkait korupsi dana hibah Ponpes 2020, Baang,” ujar Sifan Rusdiansyah, Ketua Presidium Koalisi Mahasiswa Pejuang Keadilan (KOMPAK) kepada wartawan, Rabu (25/10).
Sifan mengatakan dugaan keterlibatan Al Muktabar terjadi saat yang bersangkutan menjabat sebagai Sekda Provinsi Banten.
“Pada tahun tersebut Al Muktabar menjabat sebagai Sekda Pemprov Banten, sekaligus mengetuai TAPD (Tim Anggran Pemerintah Daerah). Otomatis yang bersangkutanlah yang meloloskan anggaran para calon penerima dana hibah tersebut yang hanya berupa usulan dan bukan hasil rekomendasi yang telah terverifikasi,” katanya.
Sifan menegaskan bahwa akar dari korupsi dana hibah ponpes terletak pada persetujuan anggaran dan juga calon penerima yang tidak diverifikasi terlebih dahulu.
“Menurut saya, akar persoalan korupsi dana hibah ponpes itu berawal dari persetujuan anggaran tersebut (oleh Ketua TAPD–red) dan para calon penerima yang tidak diverifikasi terlebih dahulu. Dengan demikian, perlu dibuka pengusutan kembali terkait pihak-pihak yang terlibat,” tegasnya.
Sifan mendorong Kejagung kembali mengusut semua pihak yang terlibat dalam kasus korupsi dana hibah Ponpes 2020.
“Harapan saya kejagung dapat mengusut kembali semua pihak yang terlibat dalam kasus ini dan dapat ditindak secara tegas, supaya menciptakan pemerintahan banten yang bebas dari KKN,” ujarnya.
Sementara itu Deputi Direktur Pattiro Banten, Amin Rohani, mengatakan turut prihatin atas dugaan keterlibatan Sekretaris Daerah Provinsi Banten dalam kasus Hibah Pondok Pesantren 2020. Dalam konteks ini, kita perlu melihat beberapa aturan yang relevan, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014) dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 33 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
“Berdasarkan UU 23/2014, Sekretaris Daerah (Sekda) mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk membantu kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) dalam koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Selain itu, sekda juga menjadi penghubung antara kepala daerah dengan kepala perangkat daerah,” ujarnya.
Sementara itu, Permendagri Nomor 33 Tahun 2019 menegaskan peranan Sekda sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). TAPD bertanggung jawab menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) yang mencakup komponen hibah, seperti halnya hibah Pondok Pesantren.
“Oleh karena itu, dugaan keterlibatan Sekda dalam kasus ini menimbulkan pertanyaan mengenai akuntabilitas dan transparansi dalam proses perencanaan anggaran,” kata Amin.
Dalam konteks ini, sangat penting untuk mendalami dugaan keterlibatan Sekda yang saat itu dijabat Al Muktabar terkait penyimpangan dalam proses perencanaan hibah Pondok Pesantren 2020. Langkah ini sejalan dengan upaya pemerintah dan masyarakat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang serta memastikan pengelolaan keuangan daerah yang akuntabel dan transparan.
Amin juga menerangkan akuntabilitas, terutama dalam peran Sekretaris Daerah, harus ditegaskan. Pemerintah harus memastikan ada mekanisme untuk memeriksa dan menegakkan pertanggungjawaban dalam pengelolaan keuangan daerah, termasuk dalam hal pengelolaan hibah.
“Dengan mempertimbangkan ketiga aspek ini, kita dapat meningkatkan tata kelola keuangan daerah yang lebih transparan, partisipatif, dan akuntabel, yang pada gilirannya dapat mengurangi risiko penyalahgunaan wewenang dan meningkatkan kepercayaan masyarakat. Langkah ini sejalan dengan upaya pemerintah dan masyarakat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang serta memastikan pengelolaan keuangan daerah yang akuntabel dan transparan,”terangnya.
Menanggapi hal itu PJ Gubernur Banten Al Muktabar membantah terlibat, meski ia mengakui telah melanjutkan perencanaan usulan dana hibah tersebut yang belakangan bermasalah.
“Pertama saya menjadi Sekda itu dilantik 27 Mei 2019 dan saya mulai aktif itu di bulan Juni 2019. Proses perencanaan pada waktu itu secara menyeluruh itu sudah berjalan oleh sekda-sekda sebelumnya. Dan di dalam kerangka itu tim TAPD bekerja, dan saya sebagai ketua TAPD ex officio dengan momen itu kan tidak mungkin saya menghentikan program karena itu harus berlanjut terus, maju ke KUA dan PPAS,” ujarnya.
Al Muktabar mengatakan setelah program dilaksanakan, pelaksanaannya ada masalah dan itu tanggung jawab teknis pelaksanaan.
“Dan itu semua proses berjalan. Dan sampai programnya ditetapkan, lalu dilaksanakan. Nah tingkat pelaksanaannya ada problem itu adalah tanggungjawab teknis pelaksanaan. Di proses perencanaan semua sudah kita lakukan dengan sebaik-baiknya dan juga itu telah masuk ke proses hukum. Dan dalam proses hukumnya sudah ditetapkan siapa yang bertanggung jawab terhadap itu,” katanya.
Al Muktabar mengaku siap kembali diperiksa oleh kejaksaan terkait hal itu bila kasus korupsi dana hibah ponpes 2020 kembali dibuka pihak kejaksaan.
“Ya tentu kan sebagai warga negara, saya taat hukum. Terus apa yang harus disampaikan, saya sampaikan. Keterangannya seperti itu,” ujarnya.
(Red)