BANTEN (MBN) – Pihak detik.com meminta maaf dan mengakui telah melanggar kode etik jurnalistik, terkait dua berita yang dimuat pada rubrik detikX atau detik investigasi beberapa waktu lalu, dengan judul “Asal Cair Demi Gubernur Wahidin” dan “Ponpes Hantu Penerima Hibah. Hal itu terungkap dalam mediasi daring yang digelar Dewan Etik dari Dewan Pers, Selasa (3/08/2021).
“Dewan Pers dan Detik mengapresiasi langkah Wahidin Halim melalui kami selaku kuasa hukumnya mengadukan persoalan ini secara hukum ke Dewan Pers sesuai UU,” ungkap Andi Syafrani AS&CO Law Office Selaku Kuasa Hukum Gubernur Baten Wahidin Halim (WH), sebagaimana dirilis pada akun Facebooknya.
Dikatakan Andi Syafrani, pihaknya hampir lupa terkait kasus tersebut karena saking lamanya menunggu panggilan oleh Dewan Pers yang sudah hampir dua bulan.
“Namun, alhamdulillah, barusan pagi ini sampai zuhur tadi telah selesai mediasi daring yang digelar oleh Dewan Etik dari Dewan Pers,” katanya.
Menurutnya, istilah mediasi ini sebenarnya tidak sepakat karena mediasi itu harusnya hanya untuk perkara privat, bukan publik seperti kasus pers. Namun, karena sudah terlanjur jadi pihaknya menerima putusan tersebut.
“Kami dari AS&CO Law Office mewakili Wahidin Halim, Gubernur Banten, sebagai Pengadu dan Detik.com sebagai Teradu di ruang dan waktu terpisah tadi, serta beberapa insan pers senior sebagai Dewan Etik dan kesekretariatan dari Dewan Pers. Berdasarkan risalah kesepakatan dari Dewan Etik-Dewan Pers, secara prinsip aduannya diterima dan Teradu dinyatakan bersalah,” kayanya.
Dikatakan Andi Syafrani, pihaknya sebagai Pengadu diberikan hak jawab yang akan dimuat oleh Detik disertai dengan pernyataan permintaan maaf dan pemuatan pengakuan kesalahan melanggar Kode Etik Jurnalistik.
“Terima kasih kepada Dewan Pers yang telah menerima aduan ini dan memerosesnya sesuai ketentuan. Juga, terima kasih kepada Detik yang ikut hadir dalam proses tadi. Di akhir pertemuan daring tadi, setelah urusan pokok selesai, saya menyampaikan masukan kepada Dewan Pers untuk memperjelas aturan tentang koreksi internal media yang bukan dilakukan sebagai pelaksanaan hak koreksi dari publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 12 dan Pasal 5 UU Pers,” paparnya.
Dia berharap, kedepannya jangan sampai koreksi berita secara internal dijadikan modus untuk memuat berita yang merugikan publik atau seseorang karena hal ini tidak dapat dijangkau hukum dan dianggap kerja koreksi profesional semata.
“Misalnya ada berita yang telah dipublikasi media yang mengandung kesalahan dan berakibat merugikan seseorang. Namun beberapa hari kemudian berita tersebut diubah oleh media tersebut dengan judul dan isi yang berbeda dengan dalih koreksi. Padahal kerugian sudah terjadi dan dirasakan pihak yang dituliskan namanya dalam berita tersebut. Hanya dengan alasan koreksi, media dapat menghindar dari persoalan etik dan hukum untuk mengganti kerugian yang sudah terjadi,” paparnya.
Ditegaskan Andi Syafrani, munculnya persoalan koreksi ini karena Detik telah melakukan koreksi atau lebih tepatnya perubahan besar terhadap salah satu berita yang pihaknya adukan, setelah proses aduan dimasukkan ke Dewan Pers. Koreksi tersebut bersifat luas mencakup judul dan sebagian besar isi berita tanpa memberikan informasi yang jelas kapan pemuatan koreksi itu dilakukan dan berita dengan judul apa yang dikoreksi.
“Saya mempersoalkan model koreksi yang bersifat hampir total tersebut. Sebab dalam pemahaman saya, koreksi mestinya harus bersifat minor dan terbatas, tidak mengubah mayoritas isi dan substansi. Mengacu pada istilah media, koreksi seperti itu mirip pencabutan berita lama dengan pembuatan berita baru. Tapi ini oleh Detik tidak disebut demikian. Detik menyebut tindakannya sebagai koreksi di bagian paling bawah berita,” tandas Andi Syafrani.
Fakta itulah yang membuat pihaknya memberanikan diri untuk mengusulkan agar Dewan Pers memberikan pedoman yang lebih jelas soal koreksi ini.
“Sebab pemaknaan koreksi ala Detik yang diamini Dewan Pers tampaknya berbeda dengan pemahaman kata koreksi pada umumnya,” pungkas Andi Syafrani. (red)