Mitra Banten News | SERANG – Generasi Z Dalam Dunia Politik. Generasi Z adalah kelompok yang lahir antara tahun 1997-2021 yang saat ini memiliki umur dari 11 tahun hingga 26 tahun. Sebagai generasi yang tumbuh di era digital ini, maka generasi Z memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka lebih terbuka terhadap perubahan, lebih kritis dan lebih aktif dalam menggunakan media social.
Di kutip dari pakar komunikasi politik Muhammad Danu Winata Universitas Negeri Surabaya, “ Generasi Z menjadi salah satu faktor penentu pemilu pada tahun 2024 di Indonesia, dilihat dari aspek kuantitas, jumlah anak muda saat ini lebih banyak, 60% pemilih tersebut adalah generasi Z, maka dari itu bisa dilihat bahwasanya Generasi Z saat ini sangat berpengaruh sekali suara dan kontribusi mereka di dunia perpolitikan Indonesia.
Generasi Z masih kurang terlibat dalam politik, dan contoh kota Serang menunjukkan bahwa politik identitas mempengaruhi keterlibatan kontra produktif, melanggar privasi, dan bebuat kontroversi di media sosial. Kesibukan pekerjaan sehari-hari dan kurangnya demokrasi juga menjadi tantangan bagi pemerintah dan negara untuk meningkatkan harapan generasi Z untuk mengambil alih. Tetapi partisipasi Gen Z saat ini menunjukkan pola interaksi yang menjanjikan juga. Sebuah penelitian yang dilakukan di kota Yogyakarta menemukan bahwa meskipun partisipasi politik pemilih pemula relatif rendah, pola interaksi telah terlihat. Selain itu, Generasi Z menunjukkan sikap positif terhadap masalah sosial dan lingkungan.
Generasi Z pada saat ini terutama di tahun 2024 sudah banyak sekali yang melek terhadap isu perpolitikan di Indonesia, dengan adanya digital ataupun media social yang tentunya di kuasai oleh generasi Z mereka dari situlah mengetahui informasi-informasi mengenai politik Indonesia saat ini mengenai positif maupun negative nya. Generasi Z pada saat ini banyak sekali yang berkontribusi dalam pemilu bahkan mengikuti kegiatan kegiatan yang di adakan oleh salah satu calon pasangan tersebut.
Di ambil contoh dari pemilu tahun ini, seperti para Generasi Z yang paham mengenai politik dan perduli akan perpolitikan bangsa maka dia akan membuka pemikirannya dan menuntun bersama sama sampai penetapan pun tiba, kita ambil contoh seperti yang lalu, beberapa calon pasangan presiden membuka atau mengadakan kampanye yang di dalam nya memiliki ilmu atau pembelajaran yaitu di kegiatan maupun acara ini sangat banyak sekali merenggut para pemuda untuk mengikuti acara ini, banyak para pemuda yang membuka pemikiran mereka lewat acara ini, berdiskusi bareng hingga akhirnya memiliki pemikiran yang sangat terbuka mengenai perpolitikan di Indonesia ini.
Dengan di adakan nya kampanye tersebut para pemuda khusus nya Generasi Z mereka jadi berbondong bondong dan sangat berantusias untuk berkontribusi ke dalam perpolitikan yang ada di Indonesia, dengan adanya acara ini Generasi Z sangat merasa mendapatkan banyak ilmu, entah mengenai perpolitikan, sejarah maupun pelajaran lainya, inilah contoh salah satu acara yang positif untuk bisa menarik para pemuda khususnya Generasi Z agar melek politik dan tidak bersikap apatis, sehingga saat pemilu tiba para pemuda ini dapat memanfaatkan suara yang dia punya secara baik.
Ada tiga tipe Generasi Z dalam dunia perpolitikan, yang mengikuti dan mencari tahu lebih dalam, yang mengikuti karena fomo namun tidak mencari tahu lebih dalam, dan yang bersikap apatis. Para Generasi Z banyak sekali yang tahu tentang perpolitikan namun mereka tidak benar-benar mengikuti nya, karena Generasi Z adalah generasi digital sehingga apapun berita yang mereka dapat itu dari social media, social media itu sendiri sering kali mengadu domba informasi-informasi yang di lihat, contoh pemilu tahun lalu banyak sekali bermacam- macam informasi, mengenai politik yang mengadu domba satu sama lain, dan tidak sedikit generasi Z ikut terpancing akan hal itu sehingga menimbulkan perpecahan, maka dari itu jika kita melihat informasi mengenai politik di social media alangkah baik nya kita mencari tahu kebenaranya terlebih dahulu.
Fomo, salah satu kata yang sering kali berkeliaran di Generasi Z, fomo dalam dunia politik adalah suatu tindakan yang mengikut-ikuti yang sedang ramai di perbincangkan oleh public, kelemahan Generasi Z yaitu tidak sedikit dari mereka mengikuti politik di karenakan fomo, sehingga mereka memilih calon tidak dengan melihat kinerja, visi-misi dan sebagainya melainkan mereka memilih apa yang sedang ramai pada saat itu, mereka memilih karena salah satu paslon viral, ikut ikutan teman maupun sebagainya, jadi itulah salah satu kelemahan Generasi Z karena mereka memilih karena fomo dan tidak melihat sejarah maupun kinerja dan visi misi maka para pemuda itu gampang sekali termakan berita-berita hoax mengenai politik dan gampang sekali ter adu domba oleh pihak manapun.
Karena ke fomo an tersebut lah banyak sekali suara mereka terbuang sia-sia. Jika kita adalah pemuda yang ingin melek politik di Indonesia maka kita harus membuka pikiran kita secara cerdas mengikuti perpolitikan secara sehat dan mencari sumber-sumber secara benar agar tidak termakan hoax maupun adu domba, karena jika kita tidak mempelajari dan mengetahui mengenai politik lalu, maka kita akan dengan mudah ter adu domba oleh oknum-oknum yang mengakibatkan perpecahan di bangsa ini.
Mirisnya ada beberapa daerah di Indonesia dimana golongan putih, juga dikenal sebagai “Golput”, masih berpartisipasi dalam pemilu, mempengaruhi pemilu. Pada 2019, Pusat Edukasi Antikorupsi mengatakan Sekitar 18,02 persen dari total pemilih yang terdaftar di Indonesia telah meninggalkan pemilihan, atau 34,75 juta orang. Menurut data KPU, pemilih generasi Z akan mendominasi pemilihan pada tahun 2024, mencapai sekitar 56,4 persen, lebih dari setengah dari Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ada banyak alasan mengapa orang tidak pergi ke pemilihan. Apalagi ketika anak muda berkuasa, mereka akan mempertimbangkan politik secara singkat.
Untuk memajukan Indonesia, generasi muda harus memiliki pemikiran kritis, berani, dan bebas berpendapat. Untuk meningkatkan partisipasi politik Generasi Z di Indonesia, pengguna media sosial harus dididik dengan benar agar mereka dapat mengontrol perilaku yang tidak sesuai dengan politik identitas mereka. Selain itu, negara dan pemerintah harus membuat ruang yang lebih terbuka dan inklusif bagi Generasi Z untuk terlibat dalam politik. seperti program pendidikan politik dan partisipasi dalam kebijakan publik. Bisa membantu masyarakat, terutama Generasi Z, yang sangat membutuhkan partisipasi dalam pemilihan karena perbedaan waktu yang signifikan.
Sikap FOMO: Motivasi atau Hambatan bagi Keterlibatan Politik Remaja?
Fomo atau The Fear Of Missing Out adalah perasaan takut tertinggal terhadap trend tertentu, sementara dalam kaitan politik dan pemilu terkhusus nya pemilu tahun 2024 para remaja di anggap memilih salah satu paslon Karena masifnya terhadap trend di media social yang berkaitan dengan kampanye-kampanye secara unik. Di tengah pro kontra soal FOMO ini, Guru Besar Prodi Ilmu Komunikasi UII yakni Prof. Masduki menjelaskan bahwasanya fenomena fomo ini mencerminkan sebagai bentuk bahwa masyarakat belum mendapatkan informasi yang memadai mengenai perpolitikan yang berada di Indonesia ini.
Disetir Algoritma TikTok.
“Media sosial, terutama TikTok, sangat memengaruhi generasi muda dalam pemilu, terutama tahun ini, 2024. Ini penting karena TikTok didominasi oleh remaja. Remaja, bagaimanapun, menggunakan TikTok sebagai sumber informasi utama mereka daripada mencari informasi dari sumber terpercaya. Mereka seringkali mudah terintimidasi oleh video yang mereka tonton di beranda mereka. Di sisi lain, aplikasi TikTok penuh dengan hoax dan informasi palsu. Remaja biasanya tidak dapat membedakan antara video yang sudah dipotong-potong dan video asli, mereka juga tidak dapat membedakan antara informasi yang benar dan hoax. Mereka hanya akan mempercayainya tanpa memeriksa apakah itu benar hanya karena ceritanya meyakinkan”.
Banyak sekali video- video di tiktok yang menyudutkan salah satu paslon, menyebarkan berita hoax nya lalu di tonton dan dilihat oleh para remaja dan mereka percaya begitu saja sehingga dari situlah muncul nya pemikiran pemikiran negative. Hoax dan anjuran kebencian seperti ini tidak hanya terjadi pada saat pemilu saja namun pasca pemilu pun masih terjadi penyebaran hoax dan anjuran kebencian dimana-mana. Remaja mungkin mengalami FOMO karena mengikuti apa yang dipilih idola mereka atau paslon yang sedang dibahas atau viral di sosial media karena unik mereka. Jika mereka memilih hanya karena fomo dan tidak mempelajari lebih lanjut tentang kinerja maupun visi misi, itu sangat mengkhawatirkan karena para remaja dapat salah pilih dan akhirnya tidak menggunakan suara mereka dengan bijak untuk negara kita.
TikTok menunjukkan bahwa dia adalah salah satu media sosial yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi masyarakat yang tidak sadar politik dan labil. Seiring berjalannya waktu, TikTok akan mengontrol pikiran seseorang sehingga mereka tidak dapat membuat penilaian yang objektif. Mungkin pemerintah dan partai politik Indonesia sengaja membiarkan masyarakat menjadi generasi politik FOMO, sehingga mereka hanya perlu membuat trik untuk mendapatkan dukungan dan suara mereka. Mereka berpikir bahwa jika Gen Z sudah memahami politik, gimmick yang mereka gunakan untuk menarik perhatian publik tidak akan berguna lagi. Masyarakat yang tidak berpendidikan dan tidak melek politik akan lebih mudah diatur dan diatur oleh pemerintah dan partai politik sesuai kepentingannya.
Minimnya Wawasan Politik, Alasan mengapa para remaja sangat mudah di pengaruh dan di arahkan, karena sebagaian besar para remaja tidak memiliki wawasan politik yang memadai, wawasan politik yang didapatkan dari membaca dan melakukan penelusuran masih belum tumbuh dalam dri mereka. Mereka masih enggan untuk membudayakan kultur membaca dan mencari tahu mengenai visi misi maupun kinerja paslon sehingga menghambat tumbuh nya wawasan politik di kaum muda Indonesia ini. Sehingga mengakibatkan mereka tidak berpikir kritis untuk menentukan kapasitas dan kapabilitas seorang calon pemimpin. Mereka hanya memilih berdasarkan yang sedang ramai ataupun mereka akan memilih berdasarkan rasa suka ataupun tidak.
Penulis : Syifaa Nafillah Sumantri, Mahasiswa Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa ( Untirta ).