DEPOK, (MBN) – TOKOH perbioskopan Indonesia, Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Indonesia (GPBSI) dan mantan ketua Badan Petimbangan Perfilman Nasional (BP2N) H. Djonny Syafruddin SH menyayangkan sekarang ini jarang ada wartawan peliput film yang bersikap kritis terhadap perkembangan industri film.
“Saya prihatin sekarang teman-teman wartawan kurang kritis dan peka terhadap perkembangan industri film, sehingga dinamika industri film stagnan. Kalau ini terus dibiarkan, tidak baik untuk kemajuan industri film itu sendiri,” ujar H. Djonny Syafrudin kepada awak media ketika diminta untuk menjadi narasumber diskusi publik seputar industri film yang bakal di gelar di Depok Jawa Barat medio Maret 2023.
Menurut Djonny, tumbuhnya usaha perbioskopan ini banyak dilirik oleh investor asing. Namun, mereka harus berhitung secara detil, karena tidak semua daerah punya potensi penonton.
”Lika likunya perlu belajar dari saya. Saya sudah puluhan tahun di bisnis ini,”ujarnya setengah bercanda.
Menurut dia, membangun bioskop di Indonesia, di daerah daerah tidak sama dengan di kota-kota besar di Indonesia.
Sejak tahun 1970an, Djonny muda masa itu sudah menyelami bisnis bioskop. Kawasan Jakarta Timur adalah lokasi bioskopnya dahulu, dan kini berubah fungsi sejak film nasional pada 90an terkapar alias mati suri.
Pengusaha bioskop berusia 74 tahun, berdarah Minang – Riau ini, menjabat sebagai Ketua Gabungan Pangelola Bioskop Seluruh Indonesia, GPBSI – yang membawahi pengelola bioskop keliling di kampung kampung, di pelosok hingga pengelola di mall-mall.
Bisnis perbisokopan bukanlah hal baru bagi salah satu Penasehat Badan Perfilman Indonesia (BPI) ini. Pengusaha bioskop independen ini membandingkan jurnalis film saat ini, dengan jurnalis era tahun 1980-‘90 an yang kritis terhadap industri film sehingga dinamika industri film.
Lahir di Pekanbaru, 4 Juli 1948, sebelum dikenal sebagai pengusaha bioskop, Djonny Syafrudin merupakan aktifis KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) di tahun 1960-an.
Karenanya, H. Djonny dengan senang hati menyambut permintaan wartawan peliput hiburan yang tergabung di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Depok dan Forum Wartawan Hiburan (FORWAN) Indonesia untuk menjadi salah satu narasumber Diskusi Publik seputar Industri Film dengan judul event Ngobrol Soal Sinema (Ngobrasin) yang mengusung tema Fenomena Kesuksesan Film Horor Sering Kali Kurang Dilirik Juri Festival.
“Diskusi seperti yang digagas PWI Kota Depok dan FORWAN ini sudah lama saya tunggu. Karena banyak hal yang bisa di diskusikan di Ngobrasin,” kata Ketua Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) ini.
Djohny Syafruddin berharap diskusi seputar industri film kedepan meski terus digalakan oleh wartawan peliput film dan hiburan.
“Wartawan adalah garda terdepan untuk mengawal kemajuan industri film, karenanya kegiatan diskusi semacam ini mesti didukung semua pihak. Khususnya pemangku kepentingan, Direktur film KemendikbudDikti dan Berkraf,” tandas Djonny berapi-api (Humas)
Dalam kurun waktu 10 tahun ini pertumbuhan layar bioskop sangat siginifikan. Sepuluh tahun lalu, hanya sekitar 800 layar sedangkan saat ini jumlah layar bioskop di Indonesia sekitar 2.088 layar.
“Kalau tidak ada pandemi Covid 19, mungkin jumlah bioskop di Indonesia sudah mencapai 3.000 layar,” katanya.
Dari jumlah tersebut, sekitar 65% dikuasai oleh XXI. Selebihnya CGV, Cinepolis, hingga sisanya perusahaan-perusahaan bioskop independen. Di seluruh Indonesia bisokop indepen paling banyak tersebar di di level kabupaten atau kota.
Djonny Sfarudin sendiri merupakan pengusaha bioskop yang telah mendirikan 21 bioskop independen. Bioskop-bioskop yang dimiliknya tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, Bangka Belitung hingga ke Sengkang, Sulawesi Selatan. – (Kelana Peterson)