JAWA, MBN – Dikisahkan Yusuf mengalami berbagai tipu daya dari para saudaranya. Kisah drama tingkat tinggi yang dialami Beliau Nabi Allah sekitar ‘alaihissalam hingga menjadikannya mendapatkan amanah lebih tinggi sebagai pejabat Negara, tepatnya sebagai bendahara.
Meski kisah lengkap tersebut tidak terdapat dalam Taurat dan Injil sekaligus, risalah yang dibawa Nabi “ummy” tersebut tidak juga menjadikan Yahudi dan Nasrani keseluruhan menjadi beriman. Seorang yang buta huruf dan berada di seputar masyakat jahiliyyah sekitarnya tidak juga melembutkan hati mereka untuk menerima kenabian Muhammad Shallahu ‘alaihi wa sallam dan berislam bersama-sama dengan beliau.
Belum lagi, perjuangan dengan ujian dan cobaan luar biasa dialami Nabi dalam mendakwahkan Islam. Bahkan dari kaumnya sendiri mengalami gangguan yang menyakiti bahkan melukai beliau Shallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ternyata banyak dari masyarakat Quraisy termasuk paman Nabi yang sangat dicintai yaitu Abu Thalib sekaligus Abu Jahal, keduanya tetap berada dalam kekafiran; tidak mempersaksikan Muhammad sebagai utusan Allah.
Segala jerih payah tentu mendapat ganjaran di sisi Allah baik langsung maupun terdapat gantinya. Meski Abu Jahal juga bernama Umar yang tidak lain adalah paman Beliau, namun Beliau Shallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a kepada Allah agar ada Umar yang masuk Islam; terjawab dengan masuk Islamnya Umar bin Khattab Radiallahu ‘anhu yang tersohor dengan sikap tegasnya.
Hidayah yang berarti petunjuk untuk mengikuti jalan Allah dengan meninggalkan selain jalanNya merupakan pembeda kemuliaan berupa mengutamakan Allah dengan menempatkan dunia sebagai ladang untuk kehidupan akhirat, termasuk memanfaatkan berbagai kenikmatan di dalamnya.
Dunia yang rentan fitnah di dalamnya, membuat sebagian orang memilih Zuhud sebagai jalan hidup. Meski masih ada saja kontroversi bagi sebagian kalangan akan jalan yang sebetulnya juga pada porsinya disyariatkan dalam Islam. Zuhud terhadap dunia bahkan terhadap perkara akhirat yang dikisahkan pernah dilakukan seorang Nasrani bernama Sam’an pada zamannya.
Para Rasul berkewajiban menyampaikan baik kabar baik maupun pada prinsip peringatan terhadap kaumnya sendiri juga terhadap manusia pada umumnya, menyampaikan menjadi tugas sebagai manusia dengan segenap usaha dan do’a, maka sebagaimana yang disampaikan oleh Ustadz Ammi Nur Bait bahwa suatu karunia yang besar bagi Umat Islam dengan menjadikan Allah sebagai tempat segala perkara dikembalikan. Segala perkara menjadi mudah, hal yang rumit dan berat sekali pun, Allah sebagai tempat bersandar menjadi pengurai dan penyelesai dengan cara, tempat yang telah ditentukan-Nya.
Sebagaimana banyak ayat al-Qur’an yang diakhiri dengan ungkapan “Innallahu ‘ala kulli syai’in Qodiir” yang artinya “sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu yang terjadi.” Maka termasuk perkara hidayah atau petunjuk apakah manusia mengikutinya setelah sampai kepada mereka, apakah mendustakan atau yang lainnya, maka “kepada Allah segala perkara dikembalikan.”
Oleh: Nazwar,S.Fil.I.M.Phil.
Penulis Lepas Lintas Jogja Sumatera