Mitra Banten News | JAKARTA – Ketua Umum PWI Pusat Zulmansyah Sekedang mengingatkan semua pihak untuk mengabaikan semua produk yang dikeluarkan Hendri Ch Bangun (HCB).
“Abaikan saja. HCB sudah dipecat, sehingga apa pun yang dikeluarkannya, tidak sah secara hukum,” kata Zulmansyah, menyikapi surat terbaru yang dikeluarkan bekas Ketua Umum PWI Pusat tersebut, tertanggal 30 Agustus 2024.
Surat tersebut ditujukan kepada 10 Ketua PWI Provinsi di Indonesia. Isinya terkait panduan tentang perpanjangan kartu atau peningkatan status keanggotaan, menjadi anggota biasa. Sepuluh pengurus provinsi yang dibekukan, ditangguhkan proses pengurusan kartunya.
“Abaikan saja dulu,” kata Zulmansyah, sebab legalitas HCB juga sudah tidak ada lagi, sehingga kartu tersebut juga tak akan berguna.
Terkait dugaan tindak pidana yang terjadi pada HCB, kasus hukumnya masih terus berlanjut. Pasca laporan anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat Helmi Burman ke Bareskrim Polri, pihak penyidik terus memproses laporan tersebut.
Helmi Burman selaku saksi pelopor sudah dimintai keterangan secara mendalam. Sudah masuk tahap pemeriksaan saksi-saksi. Pada gilirannya, HCB juga akan diperiksa penyidik kepolisian.
Berdasarkan surat Dewan Kehormatan PWI Pusat, Nomor: 65/DK/PWI-P/IX/2024, tertanggal Jakarta, 5 September 2024, ditujukan kepada Ketua PWI Provinsi se-Indonesia dan Ketua DKP PWI Provinsi se-Indonesia, ditandatangani Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Sasongko Tedjo Nurcholis dan Sekretaris MA Basyari disebutkan, seluruh surat-surat yang ditanda-tangani Sdr. Hendry Ch Bangun setelah diterbitkannya SK DK PWI
Pusat Nomor: 50/VII/DK/PWI-P/SK-SR/2024 tanggal 16 Juli 2024 seperti surat-surat keputusan Pembekuan PWI Provinsi dan surat-surat edaran PWI Pusat adalah tidak sah, tidak berlaku dan
melanggar konstitusi organisasi.
Kedua, keputusan pemberhentian penuh Sdr. Hendry Ch Bangun sebagai anggota PWI yang ditandatangani Ketua DK PWI Pusat Sasongko Tedjo adalah sah, legal dan sesuai konstitusi organisasi.
Untuk diketahui, dalam Keputusan Menkumham RI Nomor AHU-0001588.AH.01.08. TAHUN 2023 tanggal 17 November 2023 maupun Keputusan Menkumham RI Nomor: AHU-0000946.AH.01.08. TAHUN
2024, Ketua DK PWI Pusat yang sah adalah Sasongko Tedjo.
Ketiga, poin 1 dan 2 juga sudah dikukuhkan/dikuatkan dalam salah satu keputusan Kongres Luar Biasa PWI
pada 18 Agustus 2024.
Dewan Kehormatan PWI Pusat meminta Dewan Kehormatan PWI Provinsi segera memanggil dan memeriksa seluruh anggota PWI yang diangkat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) oleh Sdr. Hendry Ch Bangun karena melanggar PD dan
PRT PWI serta KPW PWI.
Selanjutnya, melaporkan kepada DK PWI Pusat hasil-hasil pemeriksaan, termasuk sanksi organisasi yang dijatuhkan kepada semua Plt yang diangkat Sdr. Hendry Ch Bangun.
Meminta agar DKP PWI Provinsi melaporkan hasil-hasil pemeriksaan dan merekomendasikan sanksi organisasi
berdasarkan ketentuan Kode Perilaku Wartawan (KPW) pasal 2 ayat 1, Peraturan Rumah Tangga (PRT) PWI pasal 23 ayat 1 (b), ayat 2, ayat 3 dan ayat 4, selambat-lambatnya 15 September 2024.
Selanjutnya memperingatkan agar Ketua-Ketua PWI se-Indonesia tidak lagi mematuhi semua keputusan dan edaran yang ditandatangani Sdr. Hendry Ch Bangun setelah 16 Juli 2024 karena yang bersangkutan tidak lagi anggota PWI dan sekaligus bukan lagi Ketua Umum PWI Pusat berdasarkan SK DK PWI
Pusat Nomor: 50/DK/PWI-P/SK-SR/2024.
Pemberhentian HCB
Seperti diungkapkan sebelumnya oleh pakar hukum dan etika pers Wina Armada sebelumnya, prahara di PWI Pusat ini bermula dari dugaan penyimpangan dana UKW yang berasal dari Forum Humas BUMN senilai Rp6 miliar.
Dana itu masuk ke kas PWI, sudah sempat dikeluarkan sebesar Rp1.771 miliar untuk cashback dan fee orang dalam di PWI (Hendry Bangun dkk). Perinciannya, untuk Cashback ke BUMN sebesar Rp.1.080 M dan Rp.691 juta untuk ordal alias orang dalam PWI.
Cashback untuk pihak BUMN dibuat tanda terimanya tanggal 29 Desember 2023. Dalam kuitansi jelas tertera “Untuk pembayaran cashback UKW PWI – BUMN.”
Dalam pandangan hukumnya, bukti ini tidak dapat disangkal lagi, semula uang itu digelontorkan atas nama cashback, dan bukan lainnya.
Jika belakangan diubah oleh Hendry dengan istilah lain, itu untuk menutupi penyelewengan dan semata menyamarkan bukti yang ada. Tanda terima untuk cashback itu juga dilengkapi dengan tanda tangan.
“Padahal pihak Forum Humas BUMN dengan tegas membantah telah mengatur keharusan adanya cashback, apalagi sampai menerima cashback,” ujar Wina.
Audit yang dilakukan di Forum Humas BUMN memang terbukti tidak ada pengeluaran dan penerimaan cashback sebagaimana dimaksud dalam dokumen tanda terima karangan Hendry Bangun Cs.
Wina menjelaskan ada dua hal mendasar terhadap fakta ini. Pertama, semua uang Rp1.080.000 yang sudah sempat keluar dari kas PWI, perlu dipertanyakan keluar ke mana, karena Forum Humas BUMN membantah telah menerima uang terebut.
“Dari sini saja sudah terang benderang unsur dugaan korupsinya sudah terpenuhi,” kata Wina.
Wina mengatakan, dirinya dalam kasus ini sengaja memilih istilah “korupsi,” lantaran pada saat sekarang, dari praktek tata kelola keuangan negara, semua aset, kekayaan dan keuangan BUMN dimasukan sebagai keuangan negara.
“Pada bagian ini dapat diartikan, korupsi terhadap keuangan BUMN sama dengan korupsi terhadap keuangan negara,” terangnya.
Hal kedua, aliran dana yang sudah sempat keluar dari kas PWI dan ada tanda terimanya yang seakan dari Forum Humas BUMN, menimbulkan dugaan ada pemalsuan tanda tangan pihak Forum Humas BUMN
.
“Ini sudah telak menambah unsur pidana,” katanya.
Di mata Wina, unsur pidana semakin jelas, setelah Dewan Kehormatan PWI dalam keputusannya memerintahkan agar uang cashback itu dikembalikan, dan kemudian pengurus PWI mengembalikan uang tersebut, lengkap dengan bukti pengembaliannya di formulir bank.
Ternyata pengembalian uang memang bukan dari Forum Humas BUMN melainkan dari pengurus PWI sendiri dalam hal ini mantan Sekjen PWI, Sayyid Iskandar. “Dengan begitu sudah terang benderang kemana aliran dana yang sempat melayang hilang,” ujarnya.
Wina mengingatkan, pengembalian uang dalam kasus dugaan korupsi tidaklah menghilangkan unsur tindak pidana korupsinya sendiri.
“Paling, hanya dapat dipakai untuk pertimbangan mengurangi hukuman,” pungkas Wina Armada.