Mitra Banten News | JAKARTA – Gunawan Paggaru (Ketua Umum BPI dan KFT Indonesia)
Pembekalan calon menteri dan wakil menteri kabinet Prabowo di Hambalang bertujuan menyamakan frekuensi dalam menjalankan visi dan misi presiden. Ini patut diapresiasi karena perbedaan frekuensi dapat menyebabkan program-program saling bertabrakan, berujung pada kebocoran atau inefisiensi anggaran, dan menghambat pencapaian hasil maksimal. Mungkin inilah bentuk kebocoran yang sering disebutkan oleh Prabowo dalam berbagai kesempatan selama kampanye presiden.
Selama sepuluh tahun pemerintahan Jokowi, saya sering berinteraksi dengan dua kementerian yang membina perfilman, yaitu Kemendikbudristek dan Kemenparekraf. Baik dalam kapasitas sebagai pengurus organisasi perfilman maupun sebagai profesional yang diundang sebagai narasumber dan mentor, saya sering menemukan program-program yang berbeda tetapi memiliki tema serupa. Ironisnya, peserta yang hadir sering kali sama. Fenomena ini bukan lagi rahasia umum, terutama karena program-program serupa kerap muncul menjelang akhir tahun anggaran.
Pengalaman ini membuat saya sangat mengapresiasi langkah Prabowo dalam mengadakan pembekalan, tetapi harapannya langkah ini tidak berhenti hanya di tingkat menteri. Koordinasi seperti ini harus diterapkan di seluruh struktur kementerian agar tidak hanya menjadi slogan di spanduk untuk memenuhi syarat pertanggungjawaban anggaran. Faktanya, ketidakharmonisan antara direktorat dalam kementerian sering kali memperburuk inefisiensi dalam pelaksanaan program.
Tantangan Koordinasi di Kabinet Baru
Dalam kabinet Prabowo, ada isu bahwa industri film Indonesia akan dibina oleh dua kementerian, yaitu Kementerian Kebudayaan dan Kementerian Ekonomi Kreatif. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah, bagaimana peran dan koordinasi kedua kementerian ini dalam membina dan mengembangkan industri perfilman nasional?
Pada 10 Oktober 2024, Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 115 Tahun 2024 tentang Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK) 2025-2045. Kebijakan ini menjadi tonggak penting dalam pembangunan kebudayaan nasional, dengan menempatkan kebudayaan sebagai pilar utama untuk mewujudkan Indonesia yang bahagia dan sejahtera.
Misi Utama RIPK 2025-2045
Menyediakan ruang bagi keragaman ekspresi budaya dan mendorong interaksi lintas kelompok untuk memperkuat kebudayaan inklusif.
Melindungi dan mengembangkan nilai serta ekspresi budaya tradisional agar kebudayaan nasional terus diperkaya oleh warisan leluhur.
Memanfaatkan kekayaan budaya untuk meningkatkan posisi Indonesia di dunia internasional, terutama melalui diplomasi budaya.
Menggunakan objek pemajuan kebudayaan sebagai sarana kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan ekonomi kreatif dan pariwisata berbasis budaya.
Memajukan kebudayaan dengan melindungi keanekaragaman hayati dan memperkuat ekosistem budaya dalam konteks keberlanjutan lingkungan.
Mendorong reformasi kelembagaan dan penganggaran untuk mendukung pemajuan kebudayaan agar lebih efektif dan efisien.
Meningkatkan peran pemerintah sebagai fasilitator pemajuan kebudayaan dengan memberikan ruang partisipasi aktif bagi masyarakat.
Dilema dan Tantangan untuk Industri Perfilman
Setelah mencermati RIPK sebagai dasar pembentukan Kementerian Kebudayaan, muncul pertanyaan tentang nasib industri perfilman Indonesia. Apakah UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman menjadi dasar pembentukan kementerian ini? Jika ya, seharusnya ada direktorat yang khusus menangani perfilman. Namun, jika UU tersebut tidak lagi digunakan, bagaimana dengan nasib Lembaga Sensor Film (LSF) dan Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang merupakan produk dari undang-undang tersebut?
LSF berperan dalam mengklasifikasi tontonan berdasarkan usia untuk melindungi masyarakat dari konten yang tidak sesuai.
BPI merupakan wadah peran serta masyarakat dalam pengembangan perfilman, dengan mandat yang diatur dalam UU No. 33 Tahun 2009.
Jika industri film akan dibina oleh dua kementerian. Yaitu Kementerian Kebudayaan dan Kementerian Ekonomi Kreatif, maka koordinasi yang lebih erat akan sangat diperlukan. Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif, film adalah salah satu dari 17 subsektor ekonomi kreatif. Namun, tanpa koordinasi yang baik, pembagian kewenangan ini berpotensi menimbulkan inefisiensi dan tumpang tindih program.
Urgensi Koordinasi Efektif
Berdasarkan pengalaman saya, mengoordinasikan dua kementerian jauh lebih sulit daripada mengelola dua organisasi. BPI selama ini berusaha menjadi integrator agar masyarakat dapat berperan lebih optimal dalam industri film. Namun, tanpa landasan hukum yang kuat, kedua kementerian cenderung berjalan sendiri-sendiri. Kondisi ini membuka peluang terjadinya inefisiensi anggaran, kebocoran, bahkan potensi penyelewengan dalam penggunaan anggaran.
Rekomendasi: Sinergi untuk Masa Depan
Agar UU Pemajuan Kebudayaan, UU Ekonomi Kreatif, dan UU Perfilman dapat mencapai tujuan yang diharapkan, diperlukan sinergi yang kuat. Kebudayaan, ekonomi kreatif, dan perfilman adalah tiga aspek yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, kementerian yang ideal adalah Kementerian Kebudayaan dan Ekonomi Kreatif dengan dasar tiga undang-undang berikut:
UU Pemajuan Kebudayaan
UU Ekonomi Kreatif
UU Perfilman
Struktur kementerian ini akan terdiri dari tiga direktorat jenderal:
Direktorat Jenderal Pemajuan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Ekonomi Kreatif
Direktorat Jenderal Perfilman
Melalui integrasi yang kuat antara kebudayaan, ekonomi kreatif, dan perfilman, kita dapat membangun fondasi yang kokoh menuju Indonesia Emas 2045. Sinergi ini akan memastikan penggunaan anggaran yang efektif dan efisien, serta memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat.
Lebih dari itu, film memiliki potensi besar untuk berperan sebagai alat diplomasi budaya yang dapat memperkenalkan dan memperkuat identitas budaya Indonesia di mata dunia. Dengan memanfaatkan film sebagai media diplomasi, Indonesia tidak hanya dapat meningkatkan posisi strategisnya di kancah internasional, tetapi juga mempererat hubungan antarbangsa melalui pemahaman budaya yang lebih baik. Selain sebagai media ekspresi budaya, film juga memiliki peran signifikan sebagai komoditas ekonomi. Dalam konteks industri kreatif, film berpotensi menciptakan nilai ekonomi tinggi, membuka lapangan pekerjaan, dan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global.
Melalui strategi sinergi yang tepat, kita dapat memastikan bahwa kebudayaan, ekonomi kreatif, dan perfilman menjadi sektor unggulan yang berperan aktif dalam membentuk masa depan Indonesia yang lebih berdaya saing, makmur, dan dihormati di tingkat dunia.
(Kelana Peterson)