JAKARTA, (MBN) – Crossdressing atau transvestisme kebanyakan dilakukan pria yang berdandan seperti wanita. Praktik berpakaian dan berperilaku seperti ini sering kita lihat dalam seni pertunjukan tradisionil Ludruk (Pertunjukan Sandiwara Jawa Timur).
Merujuk sejumlah literatur memang yang menjadi ciri khas kesenian tradisional Ludruk adalah karena semua senimannya beranggotakan pria.
Itulah sebabnya kelompok kesenian ludruk sejak awal berdiri beranggotakan seniman yang seluruhnya pria. Maka berbagai peran wanita dalam sandiwara Ludruk selalu diperankan oleh seniman pria.
Seiring waktu, Ludruk terancam punah. Jika masih bertahan kondisinya memprihatinkan. Di Surabaya, Ludruk tinggal beberapa puluh pemain saja. Diantaranya mereka yang masih bertahan di bawah grup “Irama Budaya” Surabaya.
Sebagian dari kiprah para pejuangan seni budaya tersebut masih bisa kita saksikan pementasannya di Gedung Ludruk Irama Budaya, di Jl. Kusuma Bangsa, Ketabang, Tambaksari, Kota Surabaya.
Adalah fakta sejarah bagaimana ludruk sebagai karya kesenian tradisi lokal jenius secara efektif ikut membangun anak bangsa dalam memberi spirit patriotik budaya.
Spirit inilah yang dipersembahkan Komunitas Ludruk Jakarta melalui pementasan ludruk dengan lakon “Sarip Tambah Soro” yang digelar di Anjungan Jawa Timur Taman Mini Indonesia (TMII) Jakarta, Sabtu (25/02/2023).
Namun tak ada kaum transvestisme yang menjadi ciri khas kesenian tradisional Ludruk tampil di pergelaran ini. Sebaliknya para wanita sebenarnya ikut memainkan peran penting dalam pertunjukan ini.
Kesenian ludruk memang punya daya tarik tersendiri. Ludruk menjadi kesenian rakyat paling populer di Jawa Timur, dengan keunikannya, kelucuan penokohnya, menghibur, dan enerjik. Memberi spirit survivalitas, futuristik, dengan kritik sosial bertema kekinian.
“Tampilnya Komunitas Ludruk Jakarta di Anjungan Jawa Timur, adalah upaya agar kesenian ini lebih dikenal juga diminati,” ujar Soang Iswandi Soedjiman, sutradara dari pergelaran ludruk ini, saat berbincang dengan seniman dan budayawan Eddie Karsito.
Ludruk’ kata Iswandi, lahir sebagai sebuah kesenian anti kemapanan (kritik sosial) dalam struktur masyarakat Jawa Timur. Pada masanya masyarakat menemukan bentuk sindiran (pasemon) sebagai pintu artikulasi yang populer dalam hal kritik dan kontrol kebijakan penguasa saat itu.
Walau tidak dapat merubah berbagai praktik skandal dalam kekuasaan secara menyeluruh, namun Ludruk dianggap layak sebagai representasi kebudayaan dalam sosiologi masyarakat yang tertindas.
Karenanya, ujar Iswandi, masyarakat sering merasa segala emosi dan dirinya tercermin dalam ludruk. Kesenian ini seakan menjadi tontonan wajib untuk mengisi ruang refleksi dan kontemplasi diri.
“Sekaligus sebagai media partisipasi publik dalam melakukan gerakan protes dan kritik sosial terhadap penguasa dengan etika dan estetika yang terukur,” ujarnya.
Termasuk lakon ‘Sarip Tambah Soro’ ini, lanjut Iswandi, ceritanya sebagai gerakan protes dan kritik sosial yang tidak ada hubungannya dengan cerita ‘Sarip Tambak Oso’.
“Cerita ini tidak ada hubungannya dengan cerita ‘Sarip Tambak Oso’. Ceritanya sederhana. Menceritakan orang yang dipercaya menyalurkan sembako tapi dipakai sendiri. Itu namanya sudah bagian dari ‘nalisir angger anggere ngurip’ (melanggar tata kehidupan),” kata Iswandi.
Seni pertunjukan ludruk memiliki berbagai elemen penting dan spesifik. Antara lain, tari ’Remo,’ tembang atau ’Kidungan,’ ‘Dagelan’, dan ‘Lakon’ atau cerita. Ketiga elemen tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari pementasan ludruk.
Tarian ’Remo’ yang menjadi elemen kesenian Ludruk adalah tarian khas Jawa Timur yang dapat diartikan sebagai tari kepahlawanan.
Sedangkan ’Kidung’ merupakan nyanyian berbentuk puisi atau pantun, yang diiringi gamelan khas Jawa Timuran. ’Kidung’ secara khas juga kerap disebut ’Parikan.’
’Kidung’ dan atau ’Parikan,’ serta ’Remo’ kerap dibawakan oleh penari sekaligus penyanyi, baik laki-laki maupun perempuan. Namun ada juga kidung ’Parikan,’ yang dibawakan oleh seorang ’dagelan’ (pelawak). Sementara lakon atau ceritanya banyak bersumber dari legenda, sejarah, dan cerita-cerita keseharian di masyarakat.
Pergelaran Komunitas Ludruk Jakarta dibuka dengan acara fashion show yang menampilkan berbagai mode kebaya. Dilanjutkan tari Remo yang dibawakan oleh penari dan pemain wayang orang, Eny Sulistyowati SPd, SE, MM. Disusul kemudian persembahan Dagelan bersama Tatok Ngelantur, Isak Marshanda, dan Umroh Gusi.
Para pemain ludruk dalam lakon “Sarip Tambah Soro” ini antara lain; Joko Dewo (Sarip), Sus Ellyn (Istri Sarip), Ninik Canda (Ibu Sarip), dan Eny Sulistyowati (Polisi Wanita).
Pemain lainnya, Armen Effendy, Hendri, cak Batin, Dewi Katayama, Oki Pradana, Susan Hawke, Linda, Shanty GSW, Nia Rahmania, Adi Yahya, Slamet Koplak, cak Widji, Wahyu Ceng Blonk, dan Lucy Daiva.
Pentas ludruk “Sarip Tambah Soro” disutradarai Soang Iswandi Soedjiman. Ceritanya ditulis Joko Dewo yang juga bertindak sebagai Asisten Sutradara. Pengiring gamelan Catur Yudianto, Penata Artistik Basukiyono, serta Tata Rias dan Busana Yudi.
Menurut Eny Sulistyowati, ludruk turut menjadi korban perubahan selera berkesenian dan selera publik terhadap jenis tontonan dan hiburan. Oleh karena itu, kata dia, perkembangan ludruk saat ini perlu perhatian bagi semua pihak.
“Kesenian tradisi ini patut kita sengkuyung (gotong royong) bersama. Tiga pilar, antara Pemerintah, masyarakat dan pelaku seni harus berkolaborasi. Ibaratnya ludruk yang sudah ‘mengkis-mengkis’ (sesak nafas) kita angkat kembali. Cari solusi supaya bisa lebih diminati masyarakat.” ujar produser Tri Ardhika Production yang berperan sebagai Polwan dalam sandiwara ini.
Dalam situasi seperti itu, lanjut Eny, tidak ada pilihan lain selain melakukan kolaborasi dengan nilai-nilai dan simbol-simbol modernitas serta menggunakan media-media yang dekat dengan gaya hidup modern.
“Namun tetap tidak meninggalkan apa yang sudah menjadi pakem (acuan) kesenian ludruk,” ujar seniman serba bisa yang kini tengah menyiapkan World Dance Day (WDD) yang diselenggarakan Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) ini.*(Kelana Peterson)