SERANG | Mitra Banten News – Setelah meliput beberapa sumber mengenai Kopi gunung karang, kami mendatangi Kepala Dinas Pertanian Provinsi Banten, Agus M Tauchid.
Dalam diskusi hangat tentang Kopi Gunung Karang di Kantor Dinas Pertanian Provinsi Banten pada Rabu 15 Mei 2024 beberapa hari lalu. Agus M Tauchid memaparkan tentang Imah Kopi Gunung Karang yang digadang-gadang membawa optimisme baru untuk bisa bersaing di dunia industri perkopian global.
“Jika ditarik dari sejarah, kopi Banten dimulai sejak pra-kemerdekaan Indonesia, sejak masa Kesultanan Banten. Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, VOC mulai memperkenalkan rempah-rempah. Awalnya itu kan di Banten, transitnya di pelabuhan Karangantu, begitu juga dengan kopi,” kata Agus.
Agus juga menjelaskan bahwa lokasi pertama pembudidayaan kopi itu di Gunung Karang, oleh karenanya sering disebut sebagai kilometer 0 Kopi. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa pohon kopi robusta yang berusia lebih dari satu abad. Kendati pada perjalanannya di masa penjajahan VOC, Kopi Robusta Gunung Karang sempat ditinggalkan, namun bukan berarti gagal. Pasar pada waktu itu lebih memihak Kopi Arabika, sedangkan Gunung Karang di ketinggian lebih dari 1000 MDPL yang merupakan habitat kopi Arabika bisa hidup subur masih belum terbuka oleh ekspansi manusia seperti saat ini.
Dinas Pertanian Provinsi Banten bertekad memulai pengembangan komoditas tanaman kopi untuk jangka panjang melalui pembangunan Imah Kopi di Gunung Karang Pandeglang. Ini bukan hanya berfokus pada budaya kopi dan bisnis semata, namun juga sebagai langkah strategis untuk konservasi di Gunung Karang.
“Belajar dari kopi. Jika saya tanya, apakah kopi yang merubah air, atau air yang merubah kopi? Jawabannya pasti kopi yang merubah warna air yang bening menjadi hitam yang tidak ada rasa menjadi nikmat, bukan? Artinya apa? Artinya melalui kopi kita merubah lingkungan yang lestari, merubah lingkungan masyarakat menjadi kreatif dan produktif,” papar Agus.
Dari sini, kami tahu bahwa tanaman kopi bukan hanya berdampak baik untuk lingkungan. Karena pohon kopi bukan tanaman soliter yang harus ditanam secara tunggal, menanam kopi bisa dipadukan dengan tanaman lain sehingga menjaga kontur tanah khususnya di lereng Gunung Karang.
“Beginilah cara menikmati kopi, jangan pakai gula, dan rasakan manfaatnya bagi tubuh yang pertama adalah menjaga kesehatan otak. Kafein di dalam kopi memberikan berbagai efek positif terhadap otak, membantu konsentrasi, dan bisa memperbaiki suasana hati, hingga menurunkan risiko depresi,” ujarnya.
Manfaat kopi hitam tanpa gula tidak hanya sekadar mencegah rasa kantuk dan membuat tubuh lebih terjaga. Selain itu, dikutip dari halodoc.com, kandungan kafein dan senyawa antioksidan di dalam kopi hitam mampu mencegah depresi. Saya teringat pada sebuah buku yang pernah saya baca berjudul Kembara Rindu karya Habiburrohman. Dalam buku tersebut sedikit menjelaskan tentang kopi. “Kopi merupakan salah satu minuman kesukaan para ulama, karena dari secangkir kopi bukan hanya memberikan kehangatan yang menemani sepertiga malam para ulama. Dari kopi tercetus banyak inspirasi yang menjadi karya hebat.”
Baru-baru ini, “Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data indeks kebahagiaan masyarakat Provinsi Banten cukup rendah katanya, berbeda jauh dengan provinsi penghasil kopi lainnya seperti Lampung dan Aceh yang sudah memiliki indeks kebahagiaan paling tinggi. Menjadi alasan lain dari pemerintah (Dinas Pertanian) Provinsi Banten yang optimis mampu meningkatkan indeks kebahagiaan masyarakat melalui kopi.”
“Kalau kita lihat di Aceh, Lampung, dan sebagainya. Mereka menikmati kopi dengan pemandangan yang asri, suasana dan tempat yang nyaman, bagaimana tidak bahagia? Lalu kenapa kita tidak ciptakan itu di sini? Hutan lestari, lingkungan asri, petani kopi bahagia, kita semua bahagia,” tutup Pak Kadis sambil meletakkan cangkir yang telah kosong. (Czi Yk)