Mitra Banten News | CILEGON – Kebakaran kembali melanda Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Bagendung di Kota Cilegon. Ini bukan yang pertama, namun entah mengapa pemerintah Kota seolah menutup mata dan membiarkan bencana berulang tanpa solusi yang jelas. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Cilegon, sebagai pengelola utama, patut dipertanyakan kredibilitasnya. Penanganan kebakaran yang tampak setengah hati ini semakin menambah catatan buruk pengelolaan sampah di kota ini.
Direktur Eksekutif NGO-Rumah Hijau, Supriyadi mengkritik terkait persoalan dokumen Amdal atau UKL-UPL TPSA Bagendung. “Dokumen ini harus segera dikaji ulang karena sangat penting untuk memastikan pengelolaan yang lebih baik dan mencegah terulangnya bencana serupa,” ungkapnya.
Supriyadi menambahkan, Saat pemerintah terus membanggakan sederet penghargaan yang diterima atas pengelolaan sampah, faktanya lapangan berkata lain. Kebakaran TPSA Bagendung seakan menjadi bukti tak terbantahkan bahwa semua penghargaan itu tak lebih dari sekadar simbol kosong. “Pemerintah bisa berbicara soal pengelolaan sampah ramah lingkungan, tapi di lapangan, asap kebakaran dan debu mikroplastik yang terbakar menjadi makanan sehari-hari warga sekitar. Ini ironi yang memalukan,” kata Supriyadi, aktivis lingkungan NGO-Rumah Hijau tersebut.
Lanjut Supriyadi, peristiwa ini menunjukkan bahwa DLH Kota Cilegon benar-benar tidak mampu menjalankan tugasnya. “Ini sudah dua kali kebakaran terjadi, dan respons pemerintah masih lamban dan tidak ada perbaikan signifikan. Mereka tidak belajar dari kesalahan sebelumnya, dan ini menunjukkan betapa cerobohnya pengelolaan di TPSA Bagendung,” tegasnya.
Bukan hanya sekadar kerugian material, kebakaran TPSA Bagendung ini menciptakan ancaman serius terhadap kesehatan warga sekitar. Udara penuh dengan partikel mikroplastik beracun yang terbakar, yang dihirup oleh masyarakat setiap harinya. “Kita sedang membicarakan tentang ancaman nyata terhadap kesehatan masyarakat. Udara yang mereka hirup bisa berdampak jangka panjang pada kesehatan paru-paru dan menyebabkan penyakit berbahaya. Apakah pemerintah tidak peduli?” sergah Supriyadi dengan nada tinggi.
Lebih parah lagi, hingga saat ini tidak ada kajian ulang yang serius terhadap dokumen Amdal atau UKL-UPL TPSA Bagendung. “Ini sangat berbahaya! Kalau dokumen Amdal saja sudah tidak jelas, bagaimana mungkin mereka bisa mengelola limbah sampah dengan baik? Jangan sampai kejadian longsor TPS di Serang yang menelan korban jiwa terjadi di Cilegon. Kita berada di ambang bencana yang lebih besar, dan pemerintah hanya menunggu itu terjadi,” tambahnya.
Kebakaran di TPSA Bagendung berulang di tengah musim kemarau, tapi menggunakan kemarau sebagai alasan adalah pembodohan publik. Masalah utamanya bukan cuaca, melainkan ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan infrastruktur yang memadai. Supriyadi mengkritik keras ketidakadaan hidran atau fasilitas dasar lainnya di TPSA Bagendung. “Apakah mereka tidak tahu bahwa TPSA yang baik wajib memiliki sistem pemadaman kebakaran yang cepat? Tidak ada hidran, tidak ada sistem yang jelas, ini murni kelalaian! Jangan lempar tanggung jawab ke cuaca atau hal-hal lain. Ini kesalahan pemerintah, titik!”
Supriyadi juga menegaskan, pemerintah Kota Cilegon harus bertanggung jawab penuh atas peristiwa ini. “Warga sekitar TPSA Bagendung sekarang hidup dalam ancaman konstan. Asap beracun, debu mikroplastik, dan risiko kebakaran yang bisa terjadi kapan saja. Pemerintah harus segera bertindak atau siap-siap menghadapi kemarahan publik yang lebih besar. Ini soal nyawa, soal kesehatan masyarakat, dan pemerintah tidak bisa berleha-leha lagi!” tegasnya.
Warga kini hanya bisa berharap, kebakaran TPSA Bagendung tidak hanya menjadi sekadar peristiwa yang hilang tertelan waktu. Jika pemerintah terus abai, maka bukan hanya lingkungan yang rusak, tapi juga masa depan kesehatan warganya sendiri.