JAMBI, (MBN) – Pihak Bareskrim Polri diminta segera turun tangan mengusut tuntas praktik penguasaan dan pengelolaan atau pendudukan lahan tambang batu bara diduga ilegal. Hal itu diduga dilakukan oleh kontraktor bodong yang menggunakan Surat Perintah Kerja (SPK) bodong di Kabupaten Muaro, Provinsi Jambi.
Berdasarkan laporan wartawan dari lokasi ke yang masuk ke meja redaksi di Jakarta, Kamis (02/02/2023), terungkap bahwa seseorang berinisial HT (Herman Trisna-Red), berupaya menguasai lahan tambang, dengan menjual-jual Surat Perintah Kerja (SPK) bodong kepada sejumlah kontraktor lainnya.
HT yang diduga sebagai seorang kontraktor bodong juga memberikan keleluasaan untuk bebas melakukan penambangan dan mengambil sebanyak-banyaknya batu bara yang disanggupi dari areal konsesi tambang batu bara Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) milik PT Bumi Borneo Inti (PT BBI), di Kabupaten Muaro, Jambi.
Temuan fakta di lapangan hingga Kamis (02/02/2023), HT yang masih mengklaim dirinya sebagai pemilik lama PT Bumi Borneo Inti (PT BBI) diduga mengadakan sejumlah kontrak Surat Perintah Kerja (SPK) dengan pihak penambang dan kontraktor secara sporadis dan ugal-ugalan, hal itu terlihat dari banyaknya Open Pit Mining atau areal tambang terbuka yang ilegal, yang dibuka atas nama inisial HT.
Kondisi ini sudah dilaporkan oleh Pemilik lahan tambang yang sah yang juga Pemilik PT Bumi Borneo Inti (BBI) yang sebenarnya kepada pihak Polda Jambi. Namun, sungguh sangat disayangkan, aparat kepolisian tidak menggubris laporan warga yang merupakan pencari keadilan.
Polda Jambi tidak menindaklanjuti Surat Aduan yang dilayangkan oleh Direktur Utama PT Bumi Borneo Inti (PT BBI) sejak bulan Agustus 2022 lalu. HT hanya dengan hanya berbekal fotokopian Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP), dan fotokopian akta yang sudah tidak valid, kok bisa membuka banyak kontrak yang tidak berdasar kepada para kontraktor tambang.
Setelah dicek di Direktorat Jenderal Administrasi Umum (AHU) Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham), juga di One Single Submission atau OSS, serta keabsahan Nomor Induk Berusaha atau (NIB) atas nama Herman Trisna, ternyata Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) yang dijadikan alat jualan itu tidak valid alias bodong.
Lewat aksinya, HT memungut biaya deposit besar-besaran, mulai dari Rp 500 juta sampai Rp1,5 Miliar kepada para kontraktor tambang. Padahal, sesuai akta mutakhir pada 8 September 2022, serta data AHU terkini, dan sesuai NIB, OSS, Direktur Utama PT Bumi Borneo Inti (PT BBI) adalah M Ichsan dengan kepemilikan saham 80 persen oleh H Deniel Chandra.
Hal ini juga dipertegas dengan aktivasi di data EFIN, E-Nofa, MODI, dan MOMS, pada Dirjen Mineral dan Batubara pada Kementerian ESDM, ternyata Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) PT Bumi Borneo Inti (PT BBI) sudah sepenuhnya berada di bawah manajemen baru sesuai dengan akta terbaru.
Pelu diketahui, Electronic Filing Identification Number (EFIN) adalah nomor identitas yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk wajib pajak yang melakukan transaksi elektronik perpajakan, seperti lapor SPT melalui e-Filing dan pembuatan kode billing pembayaran pajak.
E-Nofa sendiri adalah website yang memiliki fungsi untuk pengajuan permohonan Nomor Seri Faktur Pajak online keluaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang sebelumnya dilakukan secara manual. Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) sendiri adalah salah satu syarat pembuatan faktur pajak. Mineral One Data Indonesia (MODI), adalah sebuah aplikasi yang dikembangkan untuk membantu mengelola data perusahaan mineral dan batu bara di lingkungan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara.
Mineral Online Monitoring System (MOMS) merupakan sistem yang dibuat dalam rangka untuk melakukan pengawasan kegiatan produksi dan penjualan komoditas mineral dan batu bara. Berkaca dari kondisi saat ini, pelaporan, evaluasi, atau rekapitulasi masih dilakukan secara manual.
Oleh karena itu, pria yang dikenal dengan inisial HT adalah kontraktor bodong, yang dengan bukan haknya dan bukan kewenangannya menawarkan sejumlah kontrak Surat Perintah Kerja (SPK) dengan pihak penambang dan kontraktor, secara sporadis dan ugal-ugalan. HT juga dipastikan sudah tidak memiliki saham apa pun di PT Bumi Borneo Inti (PT BBI) sejak Maret 2021.
Karena itu, HT tidak memiliki wewenang apa pun terhadap lahan wilayah konsesi PT Bumi Borneo Inti (PT BBI). Anehnya, hingga kini HT terus bermanuver dan membuat ulah serta aksi-aksi yang seolah-olah sebagai pelaku sah. HT membuat banyak manuver mulai dari menggugat Akta di PTUN yang hasilnya sudah 2 kali ditolak. Dan masih mencoba peruntungan ‘gambling’ ke Mahkamah Agung (MA).
Sangat disayangkan, HT memanfaatkan momen ini untuk membuka banyak SPK dan mengambil manfaat dengan memungut biaya-biaya deposit ke para kontraktor yang bekerja di sana. Diduga Pembebasan ini menjadikan areal PT Bumi Borneo Inti (PT BBI) layaknya areal tidak berada dalam teritorial hukum.
Sayangnya, para penambang yang tidak tahu menjual hasil batu baranya ke mana, jelas sekali bahwa mereka tidak memiliki dokumen yang sah. Apalagi, Kepala Teknik Tambang atau KTT Tambang, Ibnu, yang saat ini dinilai sudah menghilang dan lari dari tanggung jawab. Para penambang yang merasa bekerja di Open Pit Mining atau areal tambang terbuka yang ilegal yang dilakukan HT, sesungguhnya telah menjadi korban.
Sebab, para kontraktor tambang itu harus membayar royalti kepada HT, padahal HT sendiri tetapi tidak memiliki dasar hukum untuk bekerja. Para kontraktor tambang diduga ditipu oleh HT, sebab mereka hanya bekerja berdasar pada kontrak yang ditandatangani pemilik lama yakni HT, padahal, ini sudah tidak sesuai dengan data AHU dan OSS.
Sejumlah di Open Pit Mining atau areal tambang terbuka yang bekerja dengan di Open Pit Mining atau areal tambang terbuka yang diklaim oleh HT itu, tidak berada di bawah manajemen yang terbaru, dan tidak sesuai dengan ketentuan AHU, OSS dan NIB, MOMS, MODI, yang semuanya itu sudah dimasukkan dalam Surat Aduan oleh Dirut PT Bumi Borneo Inti (PT BBI), M. Ichsan, kepada Polda Jambi, pada bulan Agustus 2022, agar segera dilakukan langkah hukum.
Perlu diketahui juga, bahwa para kontraktor yang diduga diiming-imingi oleh HT itu, bekerja tanpa Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP). Hal ini semakin memperjelas bahwa para kontraktor bodong yang mencoba bekerja di Open Pit Mining atau areal tambang terbuka milik PT Bumi Borneo Inti (PT BBI) itu adalah sebagai bentuk pelanggaran nyata. Hingga berita ini diturunkan, belum ada respon dari HT alias Herman Trisna, Roy Marten, dan Polda Jambi.
Ikut Main Tambang Di Jambi, Aktor Senior Roy Marten Diduga Ikut Kuasai Lahan Bukan Haknya
Waduh, Aktor Senior Roy Marten Diduga Terlibat Tambang Ilegal Di Jambi Aktor Senior Roy Marten diduga ikut menguasai lahan tambang yang bukan haknya di Jambi.
Berdasarkan laporan wartawan dari lokasi ke yang masuk ke meja redaksi di Jakarta, Kamis (02/02/2023), terungkap bahwa seseorang berinisial HT (Herman Trisna-Red), berupaya menguasai lahan tambang, dengan menjual-jual Surat Perintah Kerja (SPK) bodong kepada sejumlah kontraktor lainnya.
HT yang diduga sebagai seorang kontraktor bodong juga memberikan keleluasaan untuk bebas melakukan penambangan dan mengambil sebanyak-banyaknya batu bara yang disanggupi dari areal konsesi tambang batu bara Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) milik PT Bumi Borneo Inti (PT BBI), di Kabupaten Muaro, Jambi.
Temuan fakta di lapangan hingga Kamis (02/02/2023), HT yang masih mengklaim dirinya sebagai pemilik lama PT Bumi Borneo Inti (PT BBI) diduga mengadakan sejumlah kontrak Surat Perintah Kerja (SPK) dengan pihak penambang dan kontraktor secara sporadis dan ugal-ugalan, hal itu terlihat dari banyaknya Open Pit Mining atau areal tambang terbuka yang ilegal, yang dibuka atas nama inisial HT.
Dari laporan wartawan di lokasi, Herman Trisna alias HT bersama Aktor Senior Roy Marten, selalu bersama-sama untuk melakukan aksi mereka di lokasi Open Pit Mining atau areal tambang terbuka milik PT Bumi Borneo Inti (BBI) di Jambi itu.
Kondisi ini sudah dilaporkan oleh Pemilik lahan tambang yang sah yang juga Pemilik PT Bumi Borneo Inti (BBI) yang sebenarnya kepada pihak Polda Jambi. Namun, sungguh sangat disayangkan, aparat kepolisian tidak menggubris laporan warga yang merupakan pencari keadilan. Polda Jambi tidak menindaklanjuti Surat Aduan yang dilayangkan oleh Direktur Utama PT Bumi Borneo Inti (PT BBI) sejak bulan Agustus 2022 lalu. HT hanya dengan hanya berbekal fotokopian Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP), dan fotokopian akta yang sudah tidak valid, kok bisa membuka banyak kontrak yang tidak berdasar kepada para kontraktor tambang.
Mineral One Data Indonesia (MODI), adalah sebuah aplikasi yang dikembangkan untuk membantu mengelola data perusahaan mineral dan batu bara di lingkungan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara. Mineral Online Monitoring System (MOMS) merupakan sistem yang dibuat dalam rangka untuk melakukan pengawasan kegiatan produksi dan penjualan komoditas mineral dan batu bara. Berkaca dari kondisi saat ini, pelaporan, evaluasi, atau rekapitulasi masih dilakukan secara manual.
Para kontraktor tambang diduga ditipu oleh HT, sebab mereka hanya bekerja berdasar pada kontrak yang ditandatangani pemilik lama yakni HT, padahal, ini sudah tidak sesuai dengan data AHU dan OSS.
Sejumlah di Open Pit Mining atau areal tambang terbuka yang bekerja dengan di Open Pit Mining atau areal tambang terbuka yang diklaim oleh HT itu, tidak berada di bawah manajemen yang terbaru, dan tidak sesuai dengan ketentuan AHU, OSS dan NIB, MOMS, MODI, yang semuanya itu sudah dimasukkan dalam Surat Aduan oleh Dirut PT Bumi Borneo Inti (PT BBI), M. Ichsan, kepada Polda Jambi, pada bulan Agustus 2022, agar segera dilakukan langkah hukum.
Perlu diketahui juga, bahwa para kontraktor yang diduga diiming-imingi oleh HT itu, bekerja tanpa Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP). Hal ini semakin memperjelas bahwa para kontraktor bodong yang mencoba bekerja di Open Pit Mining atau areal tambang terbuka milik PT Bumi Borneo Inti (PT BBI) itu adalah sebagai bentuk pelanggaran nyata. Hingga berita ini diturunkan, belum ada respon dari HT alias Herman Trisna, Roy Marten, dan Polda Jambi. (* Red)