Mitra Banten News | JAKARTA – Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri melakukan kegiatan terkait integrasi kebijakan ketangguhan bencana banjir perkotaan ke dalam Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah (Dokrenda) yang diselenggarakan selama tiga hari, mulai Selasa (20/8/2024) hingga Kamis (22/8/2024).
Plh. Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah II Ditjen Bangda Nitta Rosalin menyampaikan bahwa ketangguhan bencana menjadi tujuan utama dalam pengelolaan risiko banjir. Tidak hanya mencakup bagaimana masyarakat merespon potensi bahaya atau pun menyikapi bencana, tetapi membantu proses pemulihan untuk melanjutkan kehidupan normal kembali.
Berdasarkan World Risk Report (2021), Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan tingkat risiko bencana yang tinggi. Hal tersebut disebabkan karena tingginya tingkat keterpaparan (exposure) dan kerentanan (vulnerability) terhadap bencana. Sehingga semakin penting bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi terhadap risiko bencana dan perubahan iklim.
Ewin selaku perwakilan dari Bappenas menyampaikan bahwa terdapat indikasi sasaran dan proyek prioritas strategis SDA – Kebencanaan 2025-2029 salah satunya ketangguhan terhadap banjir periode kala ulang 50 tahunan dengan penyempurnaan sistem infrastruktur pengendalian banjir perkotaan dan integrasi pendekatan non struktural dalam penurunan risiko daya rusak air salah satunya dengan penerapan Nature Based Solution (NBS).
Pemerintah pusat harus terus mendorong serta mengoptimalkan peran Pemda dalam upaya mewujudkan ketangguhan terhadap bencana banjir dengan melalui pengembangan perencanaan berbasis mitigasi yang diwujudkan melalui integrasi kebijakan ketangguhan banjir perkotaan ke dalam Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah (Dokrenda).
“Kebijakan dan peraturan terkait penanggulan bencana banjir ini sudah tertuang dalam Permen PUPR Nomor 26 Tahun 2015 tentang Pengalihan Alur Sungai dan/atau Pemanfaatan Ruang Bekas Sungai, dengan urgensi ruang bekas sungai yang terbentuk akibat pengalihan alur dapat dimanfaatkan untuk keperluan konservasi, retensi, dan pebangunan satpras”, ujar Berto selaku Direktur Mitigasi Bencana, BNPB, dalam rilis yang diterima redaksi, Rabu (21/8/2024).
Upaya ini terdapat beberapa faktor salah satunya karena belum terbangunnya sinergitas dalam pengelolaan risiko banjir baik antara pusat dan daerah dari hulu ke hilir. Sehingga peran pemerintah pusat dan pemerintah provinsi sangat penting dikarenakan gubernur sebagai wakil dari pemerintah pusat untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah.
“Dalam pengelolaan DAS, terdapat di dua kewenangan pusat sebagai penyelenggaraan dan daerah (provinsi) sebagai pelaksanaan. DAS ini perlu adanya penataan ruang berorientasi pada DAS melalui pelaksanana pengendalian pemanfaatan ruang seperti RDTR sebagai instrumen pengendalian yang difokuskan pada derah sekitar DAS,” tambah Saparis selaku Direktur Perencanaan dan Pengawasan Pengelolaan DAS.
Atas dasar pertimbangan tersebut, maka pemerintah provinsi serta pemerintah daerah dalam lingkup satu kesatuan pengelolaan wilayah sungai perlu melakukan integrasi perencanaan dari hulu ke hilir dalam menanggulangi risiko banjir. Mengingat efektivitas pengelolaan risiko banjir hanya akan dapat dicapai apabila terbangunnya sinergi antara pusat dan daerah dan antar daerah (hulu dan hilir).
Berdasarkan analisis, baik di tingkat nasional maupun di tingkat kota menghasilkan temuan-temuan dan rekomendasi-rekomendasi kunci yang fokus pada pengembangan investasi dalam hal pengembangan pendanaan dan penyelenggaraan yang inovatif (termasuk kelembagaan); memperbaiki perencanaan dan infrastruktur; serta meningkatkan pengetahuan dan kapasitas.
“Diharapkan melalui kegiatan ini akan mampu mencapai tujuan utamanya yaitu membangun kerangka kebijakan untuk mendukung pengelolaan risiko banjir di daerah; mengurangi tingkat risiko pada daerah-daerah rawan banjir melalui langkah-langkah yang terintegrasi; serta meningkatkan pengetahuan, kapasitas, dan koordinasi lintas kabupaten/kota dalam pengelolaan risiko banjir,” tutup Nitta Rosalin. (Kelana Peterson)