SERANG, (MBN) – Pembidangan di masyarakat umumnya dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok elit dan non-elit. Sebagian dari kalangan elit tidak ingin kehilangan posisi, kekuasaan, atau pengakuan di tengah masyarakat. Mereka berusaha keras untuk mempertahankan kedudukan tersebut dengan berbagai cara. Upaya untuk menjaga eksistensi posisi kalangan elit memunculkan berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial masyarakat atau di bidang politik masyarakat.
Dalam tatanan sosial masyarakat tradisional, struktur sosial mendasar setelah keluarga adalah marga, suku, dan sejenisnya. Hal ini membentuk kelompok seperti masyarakat adat sebelum mencapai tatanan sosial yang lebih modern, seperti kerajaan. Di era modern, negara menjadi tingkatan tertinggi. Semua ini membentuk sistem budaya yang melibatkan aspek seperti budaya, norma, dan hukum. Sistem budaya ini menghasilkan kekuasaan, dan dari hierarki sosial muncul kalanngan elit atau kelas sosial di tengah masyarakat.
Teori dan Perilaku Elit Politik,
Kata elite berasal dari bahasa Latin /eligere yang berarti ‘memilih’. Dalam bahasa Indonesia, kata elite berarti ‘orang-orang terbaik atau pilihan dalam suatu kelompok’ atau ‘kelompok kecil orang-orang terpandang atau berderajat tinggi (kaum bangsawan, cendekiawan, dsb)’.
Teori elit dan perilaku elit politik dapat dimaknai, yaitu sebagai sekelompok kecil orang atau individu yang memiliki kekuasaan. Contohnya, dalam oligarki mereka yang mempunyai kekayaan atau kekuasaan di tengah masyarakat. Kelompok ini elit ini biasanya memiliki posisi yang lebih tinggi daripada rakyat biasa atau kelas bawah. Demikian halnya menyangkut hak, kelompok elit ini cenderung memiliki hak yang lebih besar daripada kelas masyarakat di bawahnya.
Untuk memahami dan meneliti tentang elit politik, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain: Pertama, cakupan kekuasaan, di mana kita melihat sejauh mana seseorang memiliki pengaruh dalam membuat kebijakan. Kedua, kualitas pengaruh, berdasarkan kualitasnya.
Pengaruh dibagi menjadi dua bagian, yaitu pengaruh langsung dan tidak langsung. Seseorang, seperti anggota DPR atau presiden, dianggap memiliki pengaruh langsung jika mereka secara langsung turut menentukan keputusan final. Di sisi lain, pengaruh tidak langsung terjadi ketika aktor atau elit politik memengaruhi orang lain tanpa terlibat secara langsung dalam keputusan.
Robert D. Putman mengklasifikasi stratifikasi politik dalam sistem politik yakni dalam beberapa strata antara lain: Kelompok pembuat keputusan, kelompok berpengaruh, kelompok aktivis, kelompok publik meminati politik, dan kelompok non-partisipan.
Berdasarkan ke enam kelompok dalam strata atau tingkatan kehidupan politik di atas, dapat disimpulkan bahwa kelompok yang paling berpengaruh atau yang dapat dikatakan sebagai “elit politik” adalah mereka yang berada pada tingkatan paling
teratas, atau yang berada pada puncak kekuasaan.
Teori Patron Klien : Istilah patron berasal dari Bahasa Latin “Patronus” atau “Pater”, yang berarti ayah (Father), kemudian dari peter berubah menjadi patris dan juga patronis yang mana dimaknai sebagai “bangsawan”. Karenanya, ia adalah seorang yang memberikan perlindungan dan manfaat serta mendanai dana dan mendukung terhadap kegiatan beberapa orang.
Sedangkan klien juga berasal dari istilah latin “Cliens” yang berarti pengikut. Hubungan patron-klien adalah bentuk hubungan di mana terdapat ketidaksetaraan antara seorang pemuka masyarakat dengan individu atau perorangan lainnya.
Karakteristik dalam hubungan patron klien seringkali ditandai oleh ketidakseimbangan status sosial antara patron dan klien. Sebagai contoh, meskipun patron memerlukan bantuan dari klien, namun posisi patron tetap lebih tinggi daripada klien. Ciri lainnya adalah ketergantungan klien pada patron, yang sering kali muncul karena patron memberikan barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh klien. Akibatnya, timbul rasa utang budi dari klien kepada patron, menciptakan ketergantungan dalam hubungan mereka. Sebaliknya, meskipun patron juga bergantung pada klien, hal ini lebih dikarenakan kebutuhan akan bantuan klien dengan imbalan atau upah. Penting dicatat bahwa ketergantungan klien umumnya terkait dengan kebutuhan material.
Orang Kuat Lokal (Local Strongman) dan Bos Lokal (Local Bossism) Istilah Local Strongman pertama kali diperkenalkan oleh Joe Migdal dalam kajiannya mengenai fenomena orang-orang kuat lokal di negara-negara dunia ketiga (post colonial) pada dekade 1970-an. Sementara itu istilah Local Bossism sendiri diperkenalkan oleh John T. Sidel, yang di mana banyak melakukan studi tentang Asia Tenggara, khususnya mengenai isu-isu politik lokal dalam lanskap perbandingan politik internasional. Istilah tersebut digunakan Sidel sebagai “alternasi” terhadap konsep Local Strongman yang diperkenalkan Migdal.
Perbandingan antara “local strongman” dan “local bossism” melibatkan pemeriksaan pada situasi sosio-politik yang serupa. Keduanya muncul dari fenomena keberadaan oligarki, personalisme, dan klientelisme di tengah upaya demokratisasi yang dipicu oleh pengaruh Barat, meliputi negara-negara pasca-kolonial maupun di negara-negara yang sedang atau baru saja memasuki periode transisi sebagai suatu gejala yang tidak dapat dihindari.
Para penguasa lokal secara tidak langsung mengendalikan dan membatasi otonomi serta kapasitas negara yang lemah di hadapan pengaruh mereka. Dengan metode ini, mereka berhasil melemahkan kekuatan dan posisi negara dalam upaya mencapai tujuan perubahan sosial. Pernyataan terkenal dari Migdal menggambarkan bahwa kedudukan negara menjadi lemah (weak state) dikarenakan masyarakat menjadi terlalu kuat (strong society), masyarakat yang dimaksud yaitu orang kuat lokal yang berhasil mengontrol masyarakat sosial.
Pengaruh local strongman dan local bossism dalam kehidupan politik tercermin dalam situasi sehari-hari, di mana kelompok orang berpengaruh ini dapat berasal dari tokoh karismatik yang tidak bergantung pada kekayaan untuk memengaruhi sistem politik lokal. Sebagai contoh, seorang local boss yang memiliki modal keuangan dapat dengan mudah menggerakkan berbagai aspek kehidupan, sementara tokoh karismatik atau berketokohan juga memiliki pengaruh serupa di tingkat lokal.
Oleh :
Rizka Tatia Ramadhani, Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa