KOTA SERANG (MBN) – Winston Churchill seorang negarawan Inggris mengatakan bahwa suasana hati, sikap, perilakuan dan penghormatan suatu bangsa terhadap para pelanggar hukumnya, dapat dijadikan sebagai alat uji yang sahih dalam menentukan tinggi rendahnya peradaban bangsa tersebut.
Ungkapan ini memberikan pemahaman bahwa untuk menjadi negara yang beradab maka negara mempunyai kewajiban untuk menjamin terpenuhinya hak-hak pelanggar hukum.
Hal ini diamini oleh Heri Kusrita, Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Kelas IIA Serang, saat menjadi narasumber di diskusi rutin Kupas Aspirasi (KUPI) Bersama PWI Kota Serang, di Kantor PWI Banten. Menurutnya, dalam melakukan pembinaan kepada warga binaan dilingkungan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Serang.
“Kami sepenuhnya mengedepankan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam melakukan pembinaan kepada warga binaan kami,” ungkapnya.
Ia mencontohkan, pada Lapas yang dipimpinnya terdapat 20 orang lanjut usia (lansia) yang menjadi warga binaan. Mereka, kata Heri, diberikan sejumlah fasilitas kursi roda, dan dibangunkan akses jalan khusus yang mudah mereka lalui.
“Hal ini semata kita lakukan untuk memberi mereka akses berinteraksi dengan penghuni lainnya,” jelasnya.
Heri menekankan, dalam masa hukuman yang dijalani oleh warga Binaan, negara hanya mengambil hak kebebasannya fisik saja. Sedangkan, hak beribadah ataupun hak-hak lainnya, seperti dikunjungi keluarga dan hidup sehat tetap diberikan, sesuai dengan fasilitas yang ada di Lapas atau Rumah Tahanan (Rutan).
“Mereka semua tetap kita fasilitasi hak-hak dasarnya. Kita pun saat ini sudah memiliki gereja, yang diperuntukkan bagi warga Binaan Kristen yang melakukan ibadah,” kata Heri.
Selain Heri Kusrita, diskusi yang bertajuk “Pembinaan Narapidana dan Tahanan Berbasis HAM” ini juga dihadiri oleh narasumber Aliandra Harahap, Kepala Rumah Tahanan (Karutan) Kelas IIB Serang, dan Cipto Edy, Kepala Balai Pemasyarakatan (Bapas) IIB Serang.
Menambahkan yang disampaikan Heri Kusrita, Karutan Serang, Aliandra Harahap menyampaikan bahwa ada sejumlah program yang dimiliki Dirjen Pemasyarakatan dalam melakukan pembinaan. Antara lain pendidikan life skill, seperti pertukangan (bangunan) dan perbengkelan.
“Dari pelatihan-pelatihan tersebut, kami berharap setelah keluar mereka dapat membuka usaha dan tidak mengulangi kembali perbuatannya,” jelas Aliandra, seraya menambahkan, dari pelatihan tersebut mereka mendapat sertifikat dari lembaga yang berwenang.
Hal yang sama, kata dia, juga diberlakukan kepada warga binaan yang terjerat kasus narkoba. Pembedanya, kata dia, untuk mereka diberikan program rehabilitasi medis dan sosial.
“Setiap harinya kita mendatangkan enam konselor, untuk kasus narkoba. Dalam kegiatan tersebut, mereka diberikan pemahaman dan ditanamkan tentang kerugian dalam menggunakan narkoba,” jelasnya.
Sebenarnya, menurut Aliandra, mereka yang ditangkap dan menjadi warga binaan termasuk orang-orang yang beruntung. Bagaimana tidak, lanjutnya, mereka (warga binaan) diberi kesempatan untuk menebus kesalahan secara langsung di dunia.
“Mudah-mudahan kesalahan tersebut tidak menjadi beban yang bersangkutan ketika di akhirat nanti,” urainya.
Sementara itu, Kepala Bapas Kelas IIB Serang, Cipto Edy, mengungkapkan semenjak 7 hari masuknya seseorang menjadi tahanan, pihaknya sudah mulai melakukan pembinaan. Bahkan, kata Cipto, pihaknya juga menyiapkan pendampingan hukum, melalui pengacara secara pro bono (gratis).
“Bagi tahanan yang tidak mampu, kita mempersiapkan pengacara secara gratis, untuk mendampingi tahanan dalam menjalankan proses hukum atau persidangan,” ungkapnya.
Lebih lanjut Cipto mengatakan, pihak Pemasyarakatan selalu berupaya semaksimal mungkin dalam melakukan pembinaan, agar tidak ada lagi mantan Napi yang mengulang kembali perbuatannya. Pihaknya, kata dia, juga melakukan pendampingan kepada eks Napi sehingga dapat diterima kembali di masyarakat.
“Meskipun mereka telah bebas, bila diminta, kami selalu siap untuk mendampingi eks Napi hingga diterima oleh masyarakat,” katanya.
Kata dia lagi, pihaknya, terus memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa eks Napi tidak perlu ditakuti atau dicurigai. Sebab, tambahnya, ketika menjadi seorang Napi, mereka terus diberi pemahaman atas kesalahan-kesalahan mereka dan di doktrin untuk tidak mengulangi kembali perbuatannya.
“Kami pun telah memberikan berbagai pelatihan keterampilan bagi mereka, sehingga mereka dapat membuka usaha sendiri dan tidak menutup kemungkinan membuka lapangan kerja bagi masyarakat,” paparnya.
Sementara itu, Ketua PWI Kota Serang, Teguh Akbar Idham, mengatakan bahwa masih banyak masyarakat yang memiliki pandangan negatif terhadap eks Napi. Padahal, lanjut dia, para eks Napi tersebut telah mendapat pembinaan yang mencukupi untuk mereka, sebelum kembali ke masyarakat.
“Saya sepakat dengan kepala Bapas, dengan keterampilan mereka, tidak menutup kemungkinan mereka dapat membuka lapangan kerja,” ucapnya.
Namun, lanjutnya, akibat stigma-stigma negatif yang beredar di masyarakat, membuat para eks Napi menjadi sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Bukan hanya itu, lanjutnya, pembuatan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), sebagai syarat diterima kerja perusahaan juga menjadi salah satu kendala bagi eks Napi, karena didalamnya tercantum status eks Napi yang bersangkutan.
“Akibatnya, perusahaan jadi enggan menerima yang bersangkutan. Padahal, mereka telah menjalani hukuman atas kesalahan yang telah mereka perbuat. Jadi tidak sepatutnya kita sebagai memberikan sanksi sosial kembali,” tutur Akbar.
Kondisi ini, tambahnya, dapat menimbulkan perasaan terbuang dan dikucilkan. Kata dia, ini secara tidak langsung mengakibatkan para eks Napi tersebut menjadi putus asa dan tergoda untuk kembali melakukan pelanggaran hukum.”Bila semuanya bisa bersinergi, dan mau membuang pemikiran negatif pada eks Napi, tentunya apa yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan tidak akan sia sia. Dan tidak ada yang kembali lagi menjadi pelanggan hukum,” pungkasnya.
#red