Mitra Banten News | JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) difokuskan untuk redistribusi dan memperkuat SDM dalam fungsi penegakan hukum dan Kamtibmas, hal tersebut ditegaskan Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI), Rasminto.
Dalam keterangan tertulisnya Senin 24 Juni 2024 mengatakan, “Kekurangan jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) di Polri sering kali diakibatkan oleh penataan pemerataan yang tidak seimbang, berdampak pada fungsi utamanya dalam Gakkum dan Kamtibmas”, jelas Rasminto.
Kondisi saat ini ada 447 ribu personel Polri, angka ini baru 50,7 persen dari Daftar Susunan Personel (DSP).
“Kebutuhan ideal Polri berdasarkan DSP yakni 881 ribu orang. Sehingga masih ada kekurangan 434 ribu orang untuk level AKBP ke bawah”, terangnya.
Lalu dihadapkan pada rasio antara jumlah polisi dan penduduk Indonesia sekitar 278 juta jiwa.
“Jumlah personel Polri sekitar 447 ribu dan penduduk Indonesia 278 juta jiwa, ini membuat rasio yang timpang 1:1000, bagaimana dapat melayani maksimal ? “, jelasnya.
Lalu, Ia mencontohkan fakta lainnya perihal peran Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas), yang seharusnya bertugas untuk menjaga Kamtibmas di desa – desa.
“Di banyak daerah, satu anggota Bhabinkamtibmas sering kali harus bertanggung jawab atas keamanan 2 – 3 Desa sekaligus”, tuturnya.
Padahal, jumlah penduduk desa di Indonesia bisa mencapai 2.000 hingga 17.000 jiwa per Desa. Dari banyaknya penduduk yang dilayani berpengaruh pada beban kerja yang tinggi membuat kinerja Bhabinkamtibmas kurang optimal.
“Mengingat mereka harus menjangkau area yang luas dengan populasi yang signifikan, yang menuntut pendekatan personal dan kehadiran rutin untuk menjaga hubungan baik dengan masyarakat”, katanya.
Sementara, Ia menuturkan terdapat penumpukan personil di tingkat Polres dan Polda yang menjadi salah satu penyebab ketidakmerataan penempatan SDM Polri.
“Di tingkat Polres dan Polda, banyak personil yang menjalankan tugas administratif dan operasional, sehingga jumlahnya relatif berlebih dibanding kebutuhan di lapangan”, urainya.
Masalah penumpukan ini menyebabkan distribusi SDM menjadi tidak efektif, dengan banyak personil yang berpotensi membantu di desa-desa atau wilayah yang membutuhkan justru terfokus di kantor-kantor pusat.
“Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara kebutuhan operasional di lapangan dengan alokasi personil yang tersedia, sehingga banyak wilayah pedesaan yang merasakan kekurangan kehadiran polisi di tingkat komunitas”, jelasnya.
Ketidakseimbangan ini dapat berpengaruh negatif terhadap efektivitas dan efisiensi penegakan hukum dan penjagaan Kamtibmas di tingkat desa.
“Untuk mengatasi masalah ini, sejatinya RUU Polri dapat menjadi momentum memperkuat fungsi utama kepolisian, dimana diperlukan peninjauan kembali terhadap kebijakan penempatan SDM Polri, dengan fokus pada pemerataan yang lebih adil dan efektif”, tegasnya.
Redistribusi personil Polri ini juga harus disertai dengan pelatihan dan dukungan yang memadai agar Bhabinkamtibmas dan personil lainnya dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
“Tentunya muatan yang sesuai dengan kebutuhan lokal yang beragam”, harapnya.
Jika persoalan ini jadi hal pokok dalam substansi RUU pembahasan saat ini yang jadi polemik.
“Kami rasa dengan semangat reformasi birokrasi Polri akan tercapai dan fungsi utamanya dalam Gakkum dan Kamtibmas akan lebih fokus, bukan menambah beban tanggungjawab yang justru tumpang tindih dengan institusi lain”, tutupnya. (Kelana Peterson)